Anggota Komisi VII DPR RI, Fraksi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono saat meninjau Pelabuhan Patimban Subang | Foto: Pribadi

Tanggapi Rencana Mogok Aptrindo, Anggota DPR: Hambatan di Transportasi Logistik Akan Buka Celah Kerugian Ekonomi

VZ
VZ
6 Menit Baca

BandarNusantara.id – Anggota Komisi VII DPR RI, Fraksi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono menyatakan angkutan logistik merupakan pendukung dari dunia industri dan perdagangan, serta menjadi bagian penting dari pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto agar meningkat menjadi 8 persen.

Sebagai informasi, pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Direktur Jenderal Bina Marga tentang Pengaturan Lalu Lintas Jalan Serta Penyeberangan Selama Masa Arus Mudik dan Arus Balik Angkutan Lebaran Tahun 2025/1446 Hijiriah tertanggal 6 Maret 2025.

Atas SKB ini, Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO) telah menyatakan keberatannya dan meminta adanya pengurangan waktu pembatasan operasional angkutan kendaraan. Disampaikan pula, jika usulan perubahan durasi pelarangan operasional kendaraan angkutan barang tidak ditanggapi oleh para stakeholder terkait, maka seluruh pengusaha angkutan barang ditanah air khususnya pelaku usaha angkutan barang yang melayani aktivitas seluruh pelabuhan di Indonesia akan melakukan stop operasional mulai tanggal 20 Maret 2025.

“Perlu disadari oleh para pemegang kebijakan bahwa yang menjadi pendukung pertumbuhan ekonomi adalah angkutan logistik. Bukan angkutan penumpang. Jadi yang mendorong pertumbuhan ekonomi itu adalah pergerakang barang,” kata Bambang Haryo, Sabtu (14/3/2025).

Sehingga, ia menegaskan para pemegang kebijakan harus melakukan kajian dalam menyikapi tuntutan dari Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) yang meminta adanya pengurangan waktu pembatasan operasional angkutan barang.

“Jangan sampai angkutan logistik ini berhenti total, karena adanya pembatasan operasional yang cukup lama,” ujarnya.

Ia memaparkan, dengan adanya pembatasan operasional angkutan barang yang cukup lama, yaitu mulai tanggal 24 Maret hingga 8 April 2025, ada beberapa sektor yang akan terdampak.

“Pertama, sektor industri. Dimana para industri ini tidak akan bisa mendistribusikan hasil industri-nya ke konsumen. Terutama yang berkaitan dengan angkutan laut, yang mana ada aspek demurrage dan dwelling time yang harus dijaga oleh para pelaku industri. Dengan berhentinya angkutan logistik maka dwelling time di pelabuhan akan tinggi, yang sangat bertentangan dengan keinginan presiden untuk menurunkan angka dwelling time ini,” ujarnya.

Ditambah dengan biaya demurrage yang akan dikenakan pada industri akibat lamanya proses keluarnya barang dari pelabuhan.

“Jika ini terjadi, akan memperburuk indeks logistik Indonesia, yang berujung pada turunnya kepercayaan pihak industri pada pemerintah. Hal ini sangat bertentangan dengan keinginan presiden yang ingin memperbaiki indeks logistik, dimana saat ini Indonesia adalah yang terburuk di antara negara se-Asia Tenggara. Dampaknya, kepercayaan dunia internasional pada Indonesia, akan menurun. Ini lah yang harus dipertimbangkan oleh pemegang kebijakan,” ujarnya lagi.

Anggota Komisi VII DPR RI, Fraksi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono saat meninjau Pelabuhan Patimban Subang | Foto: Pribadi

Bambang Haryo menegaskan bahwa pelaku usaha logistik dan para asosiasi yang berkaitan dengan logistik merupakan kaki tangan pemerintah. Para pemegang kebijakan, lanjutnya, harus menyadari bahwa tanpa kaki tangannya ini, pemerintah tidak akan bisa melakukan apa-apa.

“Perlu diketahui, transportasi logistik darat ini mencakup hampir 90 persen dari total logistik di Indonesia. Angkutan laut dan udara itu sangat kecil porsinya. Dengan demikian, pengaruhnya juga sangat besar bagi dunia logistik Indonesia,” lanjutnya.

Ia mengaku sangat prihatin, jika para pemegang kebijakan tidak dapat merespon tuntutan para pelaku usaha logistik, khususnya Aptrindo.

“Apa yang dituntut oleh Aptrindo ini bukannya untuk kepentingan mereka sendiri lho. Tapi berdasarkan kepentingan nasional. Kepentingan semua sektor perindustrian hingga perdagangan. Ini adalah bentuk tanggung jawab yang harus diapresiasi. Bayangkan, dalam situasi liburan, mereka masih menginginkan melakukan pengiriman barang, mereka masih membela merah putih, membela kepentingan nasional. Ini adalah pengorbanan yang harusnya dihargai oleh pemegang kebijakan,” kata Bambang Haryo dengan tegas.

Lagipula, di tengah pelemahan Rupiah saat ini, pemerintah menurutnya, seharusnya bisa menjaga kepercayaan public (public trust), dengan menjaga kepastian usaha seperti yang diinginkan oleh pihak industri.

Ia mengharapkan pemegang kebijakan bisa merespon positif tuntutan dari pelaku logistik ini. Dan ia pun menyatakan bahwa perubahan keputusan itu bisa saja dilakukan dengan pertimbangan kepentingan nasional.

“Surat keputusan itu bisa saja diubah. Contohnya, dengan mempertimbangkan kondisi nasional saat itu, Presiden bisa memutuskan untuk tidak menaikkan angka PPN menjadi 12 persen, walaupun sudah ditetapkan dalam undang-undang. Apalagi cuma keputusan setingkat eselon 1. Keputusan atau peraturan menteri saja bisa diubah berkali-kali. Kenaikan tarif yang sudah diputuskan saja, begitu diprotes bisa ada pembatalan kenaikan tarif,” ujarnya.

Apalagi, Menteri Perhubungan telah melakukan beberapa kebijakan untuk memastikan tidak adanya penumpukan penumpang selama musim mudik dan balik Lebaran 2025.

“Kan sudah ada kebijakan WFA (Work From Anywhere) yang mendorong sebagian masyarakat bisa mudik lebih awal. Presiden Prabowo sudah meminta para pemilik usaha untuk melakukan pembayaran THR paling lambat H-7, yang sebelumnya bisa H-1. Juga sudah dilakukan penambahan transportasi publik untuk mudik maupun balik, yang mendorong masyarakat untuk lebih memili menggunakan angkutan umum. Harusnya, pemegang kebijakan lebih percaya diri dong kalau tidak akan ada kemacetan di masa libur Lebaran kali ini. Dan pemegang kebijakan, sebaiknya, sebelum mengeluarkan kebijakan, harus melibatkan semua stakeholder transportasi. Dalam kasus ini adalah pelaku usaha industri, asosiasi industri, asosiasi perdagangan, asosiasi transportasi, dan YLKI sebagai perwakilan konsumen. Tidak bisa hanya diputuskan sendiri,” pungkasnya.(VZ)

Bagikan Artikel Ini
Beri Ulasan Terbaik Anda